Penulis : Muhammad Faiz Amali
NIM : 21086030046
ISLAM NUSANTARA
Istilah Islam
Nusantara sempat menimbulkan kehebohan tersendiri di tengah masyarakat
Indonesia. Beberapa kalangan mengemukakan pendapatnya tentang Islam Nusantara.
Ada yang menganggapnya sebagai agama Islam yang berkembang di Indonesia dan itu
sah-sah saja. Ada pula yang berpendapat bahwa Islam Nusantara sejatinya tidak
ada, mengingat Islam itu hanya satu dan tidak berlaku istilah Islam Nusantara
ataupun jenis Islam lainnya.
Beberapa pemikir Muslim
mengemukakan gagasan mereka. “Islam Nusantara ialah paham dan praktek keislaman
di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas
budaya setempat.” (Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67). “Islam Nusantara
adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan
nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.” (Bizawie dalam
Sahal & Aziz, 2015: 239).
Definisi pertama menjelaskan
bahwa Islam Nusantara merupakan paham Islam yang substansi dan implementasinya
terjadi di wilayah Nusantara dalam bentuk pertautan antara wahyu dan budaya
Nusantara, yang menjadikan Islam Nusantara memiliki nuansa khas Nusantara.
Sedangkan definisi kedua menyatakan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang
mempunyai karakter Indonesia, hasil interaksi nilai-nilai Islam teologis dengan
tradisi Indonesia. Definisi kedua mempersempit ruang lingkupnya menjadi hanya
wilayah Indonesia, lebih sempit dari pengertian pertama yang menyebut bumi
Nusantara di mana tidak turut dijelaskan batasan Nusantara itu mencakup wilayah
mana saja.
Pro dan kontra soal Islam
Nusantara juga terjadi di media sosial. Pihak yang pro berjuang keras
menggunakan penalarannya dalam beragumentasi agar Islam Nusantara dapat
diterima semua kalangan. Semantara pihak yang kontra berusaha menyerang dan
mematahkan semua argumen yang dibangun pihak pro Islam Nusantara. Tuduhan pihak
kontra terasa agak ambigu dengan mencurigai gagasan Islam Nusantara merupakan
produk Barat.
Pihak kontra meyakini bahwa
Islam itu hanya satu, yaitu Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam tidak
bisa diberikan julukan berdasarkan metode pendekatan maupun kawasan seperti
Islam Nusantara. Islam dengan ciri khas seperti Islam Nusantara dipandang
negatif dan diyakini hal itu salah. Di mata mereka, kelompok pro Islam
Nusantara dianggap sebagai ahli bid’ah, karena berbeda dengan Islam ideal dalam
pandangan mereka. Islam Nusantara, menurut mereka, tidak lagi murni karena
dimasuki paham dari luar.
Pihak pro, di sisi lain,
mendapat dukungan dari para pemikir Muslim. Dalam kesimpulan mereka, Islam
memang satu namun ekspresinya beragam. Islam Nusantara menunjukkan ekspresi
karakteristik Islam Indonesia yang khas dan tidak dimiliki Islam di belahan
bumi lain. Ali (Ali, 2006: 10) menjelaskan bahwa Islam itu satu. Tetapi, ketika
Islam telah membumi, pemahaman dan ekspresi umatnya sangat beragam. Fanani
(Fanani, 2004: 116) juga menyatakan bahwa fenomena keberagaman umat dewasa ini
seperti pendulum yang sangat warna warni. Islam tidak dipandang lagi secara
tunggal melainkan majemuk. Shihab (Shihab, 1998: 249) mensinyalir bahwa ada
cendekiawan kontemporer memperkenalkan adanya ‘versi’ Islam regional dan Islam
universal. Adapun Ma’arif (Ma’arif, 2009: 181) mengungkapkan, “Sebuah Islam,
seribu satu ekspresi.”
Wilayah Nusantara memiliki
sejumlah keunikan yang bereda dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai
keunikan geografis, sosial politik dan tradisi peradaban (Ghozali dalam
Sahal & Aziz, 2015: 115). Keunikan Nusantara membentuk wajah Islam
Nusantara yang jauh berbeda dengan wajah Islam di Timur Tengah. Islam Nusantara
memiliki ciri ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap
masalah bangsa dan negara (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 240). Menjadi
wajar kiranya wajah Islam Nusantara memiliki karakteristik yang berbeda dengan
wajah Islam di kawasan lainnya.
Islam disebarkan di Indonesia
secara damai, tanpa kekerasan, dan tanpa paksaan. Ulama pendakwah Islam,
terutama Walisongo, tidak mudah dalam mendakwahkan Islam di Indonesia. Dengan
fakta bahwa mayoritas masyarakat memeluk Hindu dan Budha serta masih
berkuasanya beberapa kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara mengharuskan mereka
berdakwah dengan beragam cara dan tidak monoton. Beberapa metode di antaranya
adalah interaksi perdagangan, pendidikan, pernikahan, dan akulturasi budaya.
Unsur-unsur akulturasi budaya, hemat kami, menjadi yang
paling membekas sekaligus menantang. Ritual ala Hindu yang telah membudaya di
masyarakat Nusantara dan ‘berpotensi’ disebut syirik diperkaya dnegan
nilai-nilai keislaman. Peringatan 7 hari wafat dan 40 hari wafat diimbuhi
kegiatan yasinan dan tahlilan serta doa-bersama khusus untuk orang yang
meninggal.
Dakwah Islam oleh para ulama menyesuaikan kondisi dan situasi di Nusantara saat itu. Jika boleh berandai, Islam tidak akan pernah hidup di Nusantara seperti sekarang ini jika saat itu Islam didakwahkan disebarkan dengan paksaan dan kekerasan. Pendakwah Islam di Nusantara khususnya Walisongo sangat paham kondisi masyarakat Nusantara saat itu, sehingga mereka menyebarkan Islam melakukan pendekatan-pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat. Budaya asli masyarakat Nusantara tidak serta merta ditolak, namun justru diterima dengan baik beberapa modifikasi dan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Wallaahu a’lam. (afd)
Komentar
Posting Komentar