Langsung ke konten utama

Metodologi Tafsir Tarbawi

 


Penulis : Muhammad Faiz Amali

Judul : Metodologi Tafsir Tarbawi

A.    Pengertian Tafsir

Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara – yufassiru - tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian.[1] Sedangkan Tafsir menurut terminologi (istilah), sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya.[2]

Menurut al-Kilbiy dalam kitab at-Taṣliy, sebagaimana yang telah dikutip oleh Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali. Tafsir ialah mensyarahkan al- Qur‟an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya.[3]

Menurut  Ali  Ḥasan  al-‟Ariḍ,  tafsir  adalah  ilmu  yang  membahas  tentang cara mengucapkan lafadz al-Qur‟an makna-makna yang ditunjukkan dan hukum- hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau pun tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.[4]

B.     Metode Tafsir

Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.[5] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[6] Definisi ini menggambarkan bahwa metode tafsir al-Qur‟an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan al- Qur‟an. Adapun metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode menafsirkan al-Qur‟an.[7]

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir.

Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.[8] Dalam perkembangan metodologi selanjutnya, Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi empat:

1)      Metode Taḥlīliīy

Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama lainnya.[9]

Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir) memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat[10]. Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang ditafsirkan oleh para mufassir.[11]

 

2)      Metode Ijmālī

Metode Ijmālī dalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat  al-Qur‟an  dengan  singkat  dan  global,  yaitu  penjelasannya  tanpa menggunakan uraian atau penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.[12]

Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri Khaeruman, mendefinisikan bahwa metode tafsir ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur‟an dengan mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.[13]

Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana metode Taḥlīliīy, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara global.[14]

Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur‟an secara garis besar. Sistematika mengikuti urutan surah-surah al-Qur‟an dalam muṣḥaf Ustmani, sehingga makna-makna dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur‟an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.[15] Dengan kata lain makna yang diungkapkan itu biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama‟, dan mudah dipahami orang. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbāb al-nuzūl atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya.[16]

Ø  Contoh-contoh Kitab Tafsir Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode Ijmālīadalah :

1.                  Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din al- Mahally

2.                  al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam)

3.                  ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad Makhmut

4.                  Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady.[17]

 

3)      Metode Muqāran

Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang yang mebahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antar ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat  para  ulama‟ tafsir  dengan  menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[18]

1.      Macam-macam Metode Muqāran

Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini menjadi tiga bagian yaitu:

a.       Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain.[19]

Yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-Qur‟an dibahas dalam ilm al-nasikh wa al-mansukh.[20]

Dalam mengadakan perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda redaksi di atas ditempuh beberapa langkah: (1) menginventarisasi  ayat-ayat  al-Qur‟an   yang  memiliki  redaksi   yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda; (2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksi; (3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasuskasus yang dibicarakan ayat bersangkutan; dan (4) melakukan perbandingan.[21]

Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, ilm al- munasabah dan „ilm asbāb al-nuzūl sangat membantu melakukan al-tafsir al- muqāran dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun, esensi nilainya pada dasarnya tidak  berbeda.[22]

b.      Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan Hadits.[23]

Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadits yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Qur‟an. Hadits itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak diperbandingkan, karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin bertolak.

Karena pertentangannya dengan ayat al-Qur‟an. Setelah itu mufassir melakukan analisis terhadap latarbelakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.[24]

c.       Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain.[25]

Mufassir membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf maupun khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat manqūl (pengutipan) maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran).

Dalam   menafsirkan   ayat-ayat   al-Qur‟an   tertentu   ditemukan adanya perbedaan di antara ulama‟ tafsir. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan dan sudut pandang masing-masing.

Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.[26]

2.      Contoh-contoh Kitab Tafsir

a.       Durrat al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl (Mutiara al-Qur‟an dan Kesejukan al-Takwīl), karya al-Khātib al-Iskāfi.

b.      Al-Burhān    Tajwih  Mutasyabih  al-Qur‟an  (Bukti  Kebenaran  dalam Pengarahan  Ayat-ayat  Mutasyabih  al-Qur‟an),  karangan  Tāj  al-Qara‟ al-Kirmāni.[27]

4)      Metode Mauḍū’i

Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.[28] Jadi,  dalam  metode  ini,  tafsir  al-Qur‟an  tidak  dilakukan  ayat  demi  ayat, melainkan mengkaji al-Qur‟an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al- Qur‟an.[29]

Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat isu-isu doktrinal kehidupan, isu sosial ataupun tentang kosmos untuk dikaji dengan teori al- Qur‟an, sebagai upaya menemukan jawaban dari al-Qur‟an terkait tema tersebut.[30]

Dari pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman terkait metode mauḍū‟i. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur‟an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur‟an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[31]

Menurut al-Farmawiy metode mauḍū‟i ada dua bentuk penyajian:

a)      Mauḍū‟i Surat

Yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya, sehingga surah itu nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.[32]

1.      Langkah-langkah Mauḍū‟i Surat

Dalam hal langkah-langkah yang ditempuh untuk menentukan metode mauḍū‟i surat, Muṣṭafā Muslim mengklasifikasikan menjadi empat langkah yaitu:

a.       Pengenalan nama surat

b.      Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur‟an

c.       Pembagian surat ke dalam beberapa bagian

d.      Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.[33]

2.      Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah:

a.       karya Syaikh Mahmud Syaltut (Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm)

b.      karya Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li suwar al- Qur‟an al-karīm).

c.       Karya al-Husaini Abu Farhah (al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr al- Mauḍū‟i li al-āyāt al-Qur‟āniyyah).[34]

b)      Mauḍū‟i atau Tematik

Metode mauḍū‟i atau tematik, bentuk kedua ini menghimpun pesan- pesan al-Qur‟an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.[35] Tafsir dengan metode mauḍū‟i ialah menjelaskan konsep al-Qur‟an tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat al- Qur‟an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut di kaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbāb al-nuzūl-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentangr makna masing-masing ayat secara par sial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (mauḍū‟i) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasioanal.[36]

1.      Langkah-langkah Mauḍū‟i atau Tematik

Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode yang kedua ini adalah:

a.       Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik.

b.      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan, ayat makiyyah dan madaniyyah.

c.       Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latarbelakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.

d.      Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing- masing suratnya.

e.       Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline).

f.       Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.

g.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang „ām dan khāṣ, antara yang muṭlaq  dan  yang  muqayyad,  mengsinkronkan  ayat-ayat  yang  lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-maknab yang sebenarnya tidak tepat.[37]



[1] Rosihan Anwar, Ulum al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia,  2013), h. 209

[2] Manna al-Qaān, Pembahasan Ilmu al-Quran 2, Terj. Halimudin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), h. 164

[3] Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 2005), h. 87

[4] Ali Ḥasan al-„Ariḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 3

[5] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm 54

 

[6] Ahmad  Syukri  Saleh,  Metodologi  Tafsir  al-Qur‟an  Kontemporer  Dalam  Pandangan   Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h. 39

[7] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, op. cit., h. 57

[8] M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman: Teras, 2005), h. 37

[9] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 94

 

[10] Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & Ulum al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 173

[11] Muammad Baqir a-adr, Madrasah al-Quraniyyah, Terj. Hidayaturakhman, (Jakarta: Risalah Masa, 1992), h. 18

[12] Mundzir Hitami, Pengantar Studi al-Quran Teori dan pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2012), h. 46

[13] Badri Khaeruman, op. cit., h. 98

[14] Ibid., h. 99

[15] Said   Agil   Husin   al-Munawar,   Al-Quran   Membangun   Tradisi   Kesalehan   Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 72

 

[16] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 185

[17] Ali Ḥasan al-„Ariḍ, op. cit., h. 74

[18] Hamdani, Pengantar Studi al-Quran, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 137

[19] Mundzir Hitami, op. cit., h. 47

[20] Azyumardi Azra (ed.), op. cit., h. 186

[21] Ibid., h. 189

[22] M. Quraish Shihab, et. al, op. cit., 188

[23] Hamdani, op. cit., h. 138

[24] Al-Ḥayy Al-Farmawy, op. cit., h. 31

[25] Ali Ḥasan al-„Ariḍ, op. cit., h. 75

[26] Ibid., h.191

[27] Muhammad Amin Suma, op. cit., h. 390

[28] Al-Ḥayy Al-Farmawy, op. cit., h. 52

[29]Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, op. cit., h. 14

[30] Ibid., h. 17

[31] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), h. 74

[32] Al-Ḥayy Al-Farmawy, op. cit., h. 35

[33] Muṣṭafā Muslim, Mai al-Tafsīr al-Mauuī, (Damaskus: r al-Qalam, 2000), h. 28-29

 

[34] Ahmad Syukri Saleh, op. cit., h. 53

[35] M.  Quraish  Shihab,  Wawasan  al-Quran,  Tafsir  Maudhui  atas  Pelbagai  Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), h. xiii

[36] Acep  Hermawan,  Ulumul Quran: Ilmu  Untuk Memahami Wahyu, (Bandung :Remaja Posdakarya, 2011), h. 118-119

 

[37] Al-Ḥayy Al-Farmawiy, op.cit., h. 45-46

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Welcome To Campus Merdeka

Nama                  : Muhammad Faiz Amali NIM                    : 21086030046 Mata Kuliah    : Tafsir dan Hadis Tarbawi Pengampu           : Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, M.A   Welcome To Campus Merdeka             Selama ini pada dasarnya sebuah kampus sendiri menerapkan sistem pembelajaran dengan SKS yang hampir keseluruhan mengharuskan adanya kegiatan belajar didalam kelas. Ini menunjukkan kurangnya kemerdekaan belajar yang harus dijalankan oleh setiap mahasiswa dalam melakukan pembelajarannya.   Apa itu Merdeka belajar?                       Merdeka belajar adalah memberi kebebasan dan otonomi kepada  lembaga pendiikan, dan merdeka  dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi vang berbelit sert...